Selasa, 11 Desember 2012

Suku Kubu


Sekelompok orang Kubu di tahun 1930-an

Suku Kubu atau juga dikenal dengan Suku Anak Dalam atau Orang Rimba adalah salah satu suku bangsa minoritas yang hidup di Pulau Sumatra, tepatnya di Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan. Mereka mayoritas hidup di propinsi Jambi, dengan perkiraan jumlah populasi sekitar 200.000 orang.
Menurut tradisi lisan suku Anak Dalam merupakan orang Maalau Sesat, yang m lari ke hutan rimba di sekitar Air Hitam, Taman Nasional Bukit Duabelas. Mereka kemudian dinamakan Moyang Segayo. Tradisi lain menyebutkan mereka berasal dari Pagaruyung, yang mengungsi ke Jambi. Ini diperkuat kenyataan adat suku Anak Dalam punya kesamaan bahasa dan adat dengan suku Minangkabau, seperti sistem matrilineal.
Secara garis besar di Jambi mereka hidup di 3 wilayah ekologis yang berbeda, yaitu Orang Kubu yang di utara Provinsi Jambi (sekitaran Taman Nasional Bukit 30), Taman Nasional Bukit 12, dan wilayah selatan Provinsi Jambi (sepanjang jalan lintas Sumatra). Mereka hidup secara nomaden dan mendasarkan hidupnya pada berburu dan meramu, walaupun banyak dari mereka sekarang telah memiliki lahan karet dan pertanian lainnya.
Kehidupan mereka sangat mengenaskan seiring dengan hilangnya sumber daya hutan yang ada di Jambi dan Sumatera Selatan, dan proses-proses marginalisasi yang dilakukan oleh pemerintah dan suku bangsa dominan (Orang Melayu) yang ada di Jambi dan Sumatera Selatan.
Mayoritas suku kubu menganut kepercayaan animisme, tetapi ada juga beberapa puluh keluarga suku kubu yang pindah ke agama Islam

Kelakar Betok

Pada sebuah warung sayuran, perempuan Palembang berbelanja. Dia menyebutkan apa yang hendak dia beli dalam jumlah serba sedikit. Kangkung hanya seikat, minyak sayur hanya satu sloki, dan 3 ikan asin kecil.
Ketika ditanya kenapa belanja kangkung cuma sekebat, sang perempuan menyimbat, “Ai, kangkung nih bukan untuk disayur. Biasolah, Mang Cik kau baru miaro kelinci. Nak makan kangkung nian. Dak galak makan rumput biaso.”
Mengenai ikan asin kecil yang juga hanya sedikit, hanyalah untuk memberi pakan kucing. Tentang minyak sayur yang hanya setakar kecil, “Mang Cik kau masuk angin! Minta kerik!”
Betok (Anabas testudineus), image colongan dari blog orang
Anekdot di atas hanya salah satu anekdot popular di Palembang. Tradisi berkelakar demikian kental di aliran Musi. Dimana-mana gampang ditemui orang berkelakar.
Masyarakat Palembang yang saya kenal adalah masyarakat pengelakar. Di sana pertama kali saya dengar istilah “pakar”. Pacak Bekelakar. Pacak artinya bisa. Atau, utak-atik saja dari pacak menjadi cakap. Dari cakap yang artinya pandai ke cakap yang artinya bual. Bukan bual dalam arti sekarang yang dipakai untuk sebut “omong besar”. Omong besar bukan bual. Itu, ngawak!
Kelakar adalah seni. Salah satunya fungsinya, ikhtiar menertawai diri sendiri. Anekdot di atas adalah cerminan masyarakat Palembang menertawakan fenomena langguk yang tumbuh sebagai stereotip sebagian masyarakatnya.
Kelakar adalah seni guyon yang tumbuh macam jamur di musim hujan. Ia mirip tak kenal kelas. Tumbuh dan hidup pada segala strata. Tumbuh di rumah-rumah rakit, sampai sisa-sisa kejayaan rumah limas. Kelakar bahkan tumbuh di rawa-rawa Palembang yang dahulunya memenuhi 2/3 Palembang.
Seni kelakar tingkat tertinggi dijuluki “kelakar betok”. Betok (Anabas testudineus) adalah sejenis ikan perairan tawar, paling gampang tertemui di rawa. Sisiknya gelap keemasan-kehijauan, dagingnya padat, siripnya acap lebih mirip duri yang bisa melukai meski tak berbisa. Ikan ini bisa memanjat ke daratan untuk berpindah dari satu cekungan ke cekungan rawa lainnya. Karenanya, dalam bahasa Inggris betok didapuk dengan nama climbing gouramy.
Kelakar betok… isinya bisa dianggap bual angin. Lambas-melambas dari satu wacana ke wacana lain, dari satu tema ke tema lain. Pengelakar betok mirip tertuntut tahu banyak tentang apa saja. Ngulu-ngilir, ngalor-ngidul. Melintas sana-sini. Menyebrang sisi-sisi.
Kenapa tradisi ini muncul? Tanya pengelana yang kebetulan tandang menikmati lantun riak air Musi. Saya tak punya referensi apapun selain kecurigaan. Kecurigaan pertama, lahir sebagai otokritik terhadap fenomena sosial yang tumbuh di Palembang. Kecurigaan kedua, lahir sebagai cara untuk melenturkan penat pikiran di kehidupan keras masyarakat Palembang.
Supaya mudah, saya kira tradisi ini memiliki ruh yang sama dengan seni bergurai di ranah lain. Misal, seni gurau masyarakat Betawi seperti yang tertampil dalam Lenong, tradisi ngabodor di Sunda, gurau ndobos di masyarakat Yogyakarta, atau seni parikan yang sering nyelip dalam pementasan ludruk Jawa Timur-an.

Kerajaan Sriwijaya


Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan maritim yang terkuat di pulau Sumatera dan termasuk salah satu kerajaan yang berpengaruh di Nusantara karna luas nya daerah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya mulai dari Kamboja, Thailand Selatan, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa juga Pesisir Kalimantan. Nama Sriwijaya sendiri di ambil dari Bahasa sangsekerta Sri berarti Gemilang dan Wijaya Berarti Kejayaan, maka makna dari nama  Sriwijaya adalah Kejayaan yang Gemilang. tidak ada yang tahu dengan pasti kapan awal berkembangnya dan kapan pula berakhirnya kerajaan Sriwijaya namun diperkirakan pada abad ke-7 M Kerajaan Sriwijaya telah berdiri.

Urutan Sejarah Kerajaan Sriwijaya

Tahun 671 M - I Ching singgah di Sriwijaya

tahun 671 adalah tahun awal yang membutikan adanya Kerajaan Sriwijaya. bukti ini di dapat dari seorang Bhiksu Buddha Tiongkok yang bernama I Ching yang sedang berkelana lewat laut menuju india untuk mendapatkan teks agama buddha dalam bahasa sangsekerta melalui Jalur Sutra atau jalur perdagangan untuk kemudian di bawa ke tiongkok dan di terjemahkan ke dalam bahasa Tionghoa. semasa perjalanan nya ini lah I Ching singgah di Sriwijaya pada Tahun 671 dan menetap selama 6 bulan di sriwijaya kemudian melanjutkan perjalanan nya ke Malayu yang sekarang disebut dengan jambi menetap pula di jambi selama 2 bulan


Gambaran I Tsing tentang Sriwijaya 
".... banyak raja dan pemimpin yang berada di pulau-pulau pada Lautan Selatan percaya dan mengagumi Buddha, dihati mereka telah tertanam perbuatan baik. Di dalam benteng kota Sriwijaya dipenuhi lebih dari 1000 biksu Budha, yang belajar dengan tekun dan mengamalkannya dengan baik.... Jika seorang biarawan Cina ingin pergi ke India untuk belajar Sabda, lebih baik ia tinggal dulu di sini selama satu atau dua tahun untuk mendalami ilmunya sebelum dilanjutkan di India".

Tahun 683 M - Prasasti Kedukan Bukit

Prasasti kedukan bukit yang ditemukan oleh M. Batunburg pada tanggal 29 November 1920 di kebun Pak H. Jahri tepi sungai Tatang, desa Kedukan Bukit di kaki Bukit Siguntang sebelah barat daya Palembang. Prasasti yang berbentuk batu kecil berukuran 45 × 80 cm ini ditulis dalam aksara Pallawa, menggunakan bahasa Melayu Kuno adalah sebuah Prasasti yang memperjelas adanya Kerajaan Sriwijaya. Prasasti ini Sangat Jelas Menggambarkan Kejadian yang terjadi pada saat itu.


Isi prasasti kedukan bukit yang telah di terjemahkan:
tanggal 23 April 683 dapunta hiyang naik ke perahu untuk melakukan penyerangan dan sukses dalam Penyerangannya. 19 Mei 683 Dapunta Hiyang berlepas dari minanga membawa 20.000 bala tentara dengan perbekalan 200 peti di perahunya. Rombongan pun tiba di Mukha Upang dengan suka cita. 17 Juni 683 Dapunta Hyang datang membuat wanua

Tahun 684 M - Prasasti Talang Tuo

Prasasti ini ditemukanpada tanggal 17 November 1920 di kaki bukit siguntang oleh Louis Constant Westenenk. Prasasti yang memiliki bidang datar berukuran 50cmX80cm ini juga dipahat menggunakan Aksara Palawa dalam bahasa melayu kuno. Dalam prasasti Talang Tuo yang bertarikh 684 M, disebutkan mengenai pembangunan taman oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa untuk semua makhluk berisi pohon pohon yang buahnya dapat dimakan, Taman tersebut diberi nama Sriksetra.

Tahun 686 M - Prasasti kota kapur

Prasasti yang ditulis dalam aksara Pallawa dan bahasa Melayu Kuno dipahatkan pada sebuah batu yang berbentuk tugu bersegi-segi dengan ukuran tinggi 177 cm, lebar 32 cm pada bagian dasar, dan 19 cm pada bagian puncak ditemukan di pesisir Barat Pulau Bangka, dinamakan Prasasti Kota Kapur karna sesuai dengan Tempat di temukan nya yaitu di dusun kecil di Pesisir barat Pulau Bangka yang bernama kota Kapur. Prasasti yang ditemukan oleh J.K Van Der Meulen pada bulan Desember 1892 dan di terjemahkan oleh George Coedes orang yang sama yang telah menerjemahkan Prasasti Kedukan Bukit ini berisi tentang Kutukan bagi siapapun yang memberontak kepada Sriwijaya serta berisi Hal hal baik untuk yang setia kepada Sriwijaya, dalam Prasasti Kota Kapur ini juga jelas di ucapkan tanggal 28 Februari 686 Bala tentara Sriwijaya berangkat untuk Menyerang Bumi jawa yang tidak takluk kepada Sriwijaya

Tahun 718 M - Sri Indrawarman Raja Sriwijaya masuk islam

Hal ini di dasari oleh Surat yang dikirimkan Sri Indrawarman yang saat itu berstatus sebagai Maharaja Sriwijaya kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari bani Umayyah. dalam surat itu disebutkan dari seorang Maharaja, yang memiliki ribuan gajah, memiliki rempah-rempah dan wewangian serta kapur barus, dengan kotanya yang dilalui oleh dua sungai sekaligus untuk mengairi lahan pertanian mereka. Bersamaan dengan surat itu juga dikirimkan Hadiah untuk Khalifah

Tahun 717-720 M - Surat kedua Ke Suriah meminta Da'i ke Sriwijaya
Surat kedua yang dikirimkan Raja Sriwijaya ini di dokumentasikan oleh Adb Rabbih dalam karya Al-Iqdul farid. isi potongan surat tersebut berbunyi : 

Dari Raja di raja... yang adalah keturunan seribu raja.. kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan yang lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekedar tanda persahabatan; dan saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya, dan menjelaskan kepada saya hukum-hukumnya.
Tahun 724 M - Sri Indrawarman mengirim hadiah ke Cina
Sama hal nya dengan yang di lakukan Raja Sri Indrawarman kepada Raja Arab pada kisaran Tahun 717-720 M. Raja Sri Indrawarman juga mengirimkan hadiah kepada kaisar Cina berupa ts'engchi 

Tahun 775 -787 M - Dharanindra Mengusasi Sriwijaya

Hal ini di dasari oleh sebuah Prasasti yang ditemukan di sebuah tempat yang bernama Ligor saat ini tempat tersebut bernama Nakhon Si Thammarat, selatan Thailand. Prasasti  Ligor memiliki 2 Sisi. Sisi Pertama disebut sebagai Ligor A dan Sisi sebaliknya disebut Ligor B. Ligor A ditulis pada tahun 775 oleh raja Kerajaan Sriwijaya, sedangkan Ligor B ditulis oleh Wangsa Sailendra setelah Menaklukkan Sriwijaya


Tahun 792 - 835 M - Samaratungga Memerintah Sriwijaya 

di kisaran Tahun ini lah di perkirakan Samaratungga menjadi Raja di Kerajaan Sriwijaya dengan mengedepankan Agama dan Budaya, terbukti di bangunnya candi Borubudur pada tahun 825 M oleh Samaratungga. Pernikahan Samaratungga dengan Dewi Tara Lahirlah Balaputradewa sebagai Pewaris Tahta Kerajaan Sriwijaya

Tahun 860 M - Balaputradewa Naik Tahta

Prasasti Nalanda berangka tahun 860 ditemukan di Nalanda, Bihar, India. adalah bukti bahwa Balaputradewa pernah menjadi Raja di Kerajaan Sriwijaya, Penafsiran Manuskrip Prasasti Nalaya berbunyi : " Sri Maharaja di Suwarnadwipa, Balaputradewa anak Samaragrawira, cucu dari sailendravamsatilaka (mustika keluarga sailendra) dengan julukan sriviravairimathana (pembunuh pahlawan musuh), raja Jawa yang kawin dengan Dewi Tara, anak Dharmasetu"

Tahun 990 M - Serangan dari raja Dharmawangsa Teguh dari Jawa

Serangan raja Dharmawangsa ini di dasari oleh berita cina dari dinasti song, di kisahkan dalam berita cina bahwa Sriwijaya terlibat persaingan dengan Kerajaan Medang untuk menguasai Asia tenggara, kedua Kerajaan ini saling mengirimkan duta ke cina, utusan Sriwijaya berangkat pada tahun 988 tertahan di kanton ketika hendak pulang, karna negri Sriwijaya di serang tentara Kerajaan Medang, Pada Tahun 992 duta Sriwijaya mencoba pulang kembali namun tertahan di Campa karna negri Sriwijaya belum aman, duta ini meminta Kaisar Song untuk menyatakan bahwa Sriwijaya berada dalam perlingdungan cina, untusan Kerajaan Medang tiba di cina tahun 992 M, dikirim setelah Dharmawangsa berhasil menaklukkan Sriwijaya.

Tahun 1006 / 1016 - Wafatnya Dharmawangsa Teguh
dalam Prasasti Pucangan disebutkan sebuah peristiwa Mahapralaya yaitu peristiwa hancurnya Kerajaan Medang. Tentara Aji Wurawari dari Lwaram yang di perkirakan sekutu Sriwijaya menyerang Istana raja Dharmawangsa Teguh di  Wwatan. Dharmawangsa Teguh meninggal pada peristiwa tersebut.

Tahun  1003 M - Sri Cudamaniwarmadewa
keterangan ini di dapat dari sebuah manuskrip nepal pada abad ke 11 yang memuji negara Sriwijaya sebagai pusat kegiatan utama agama budha, dan memiliki area indah lokananantha di sriwayapura. Dan sebuah kronik
Tibet yang ditulis pada abad ke 11 bernama durbodhaloka menyebutkan pula nama maharaja sri Cudamanirwarman dari sriwijayanagara di suwardawipa.

Tahun 1008 M - Sri Mara-Vijayottunggawarman
Penemuan Prasasti Leiden yang tertulis pada lempengan tembaga berangka tahun 1005 yang terdiri dari bahasa Sansekerta dan berbahasa Tamil. sesuai dengan tempat  di temukan nya yaitu di KITLV Leiden, Belanda. maka Prasasti ini dinamakan Prasasti Leiden. 

Nama Sri Mara-Vihayottunggawarman di sebutkan dalam Prasasti Leiden sebagai anak dari Sri Cudamaniwarmadewa yang memiliki hubungan baik dengan dinasti Chola dari Tamil, selatan India

Terjemahan Prasasti Leiden :  
Raja Sriwijaya, Sri Mara-Vijayottunggawarman putra Sri Cudamani Warmadewa di Kataha telah membangun sebuah vihara yang dinamakan dengan Vihara Culamanivarmma

Tahun 1025 M - Kehancuran Kerajaan Sriwijaya
Sriwijaya Hancur Diserang oleh Rajendra Chola dari Kerajaan Chola serangan Rajendra Chola I dari Koromandel India selatan, didasarkan pada bait akhir prasasti Tanjoreyang menceritakan tentang penaklukan yang dilakukan Kerajaan Chola atas beberapa kawasan termasuk beberapa kawasan di nusantara serta penawanan raja Sangrama-Vijayottunggawarman dari Sriwijaya.

Gunung Dempo

Gunung Dempo adalah gunung api tertinggi di Sumatera Selatan, menjulang antara Bukit Barisan dan Pegunungan Gumai. Ketinggian puncaknya yang disebut Gunung Merapi adalah 3173 m dari atas permukaan laut atau lebih kurang 3900 m diatas dataran tinggi Pasemah. Lereng-lerengnya sebelah Barat laut, Utara, Timur laut, Timur Tenggara dan Selatan bentuknya teratur dan menurun sampai kakinya, sedangkan lereng sebelah barat bentuknya tidak teratur, kemudian menyambung dengan Gunung Bungkuk - Gunung Mandiangin. Gunung Dempo terletak di perbatasan provinsi Sumatera Selatan dan provinsi Bengkulu. Untuk mencapai desa terdekat, terlebih dahulu sobat harus mencapai kota Pagar Alam, kurang lebih 7 jam perjalanan darat dari Palembang. Dari ibukota Sumatera Selatan ini tersedia banyak bus ke arah Pagar Alam. Atau apabila sobat dari Jakarta, sebelumnya dapat menumpang bus jurusan Bengkulu atau Padang, dan turun di Lahat.
Kota Pagar Alam, memang sesuai dengan namanya, kota ini jelas dikelilingi oleh pegunungan Bukit Barisan dan yang tertinggi dari barisan tersebut adalah Gunung Dempo. Pagar alam hampir mirip dengan puncak di Bogor. Udaranya sejuk, sangat kontras dengan kota Lahat yang panas.
Jika ingin naik ke puncak Dempo ada baiknya terlebih dulu mencarter mobil yang biasa disebut taksi untuk jurusan Pabrik Teh PTPN III yang jaraknya mencapai 15 km dari terminal. Di pabrik ini ada baiknya sobat berkenalan dengan orang yang dituakan disana. Dengan meminta bantuannya, mobil carteran akan membawa sobat ke desa terdekat dari kaki gunung Dempo, yang dapat memakan waktu lebih dari 20 menit, karena jalannya cukup terjal, berkelok dengan melewati hamparan kebun teh nan hijau. Jalur menuju ke puncak gunung inipun sudah sangat jelas dan bahkan di hari-hari biasa pun banyak orang desa yang sengaja naik ke puncak baik itu untuk mencari kayu ataupun sekedar berhiking.
Meski gunung ini cukup tinggi, tetapi air jernih yang ada terdapat sampai setengah perjalanan ke gunung ini, namun para pendaki tidak perlu khawatir kehabisan air minum selama perjalanan. Sebuah sungai kecil yang jernih, mengalir di perbatasan hutan pertanda kita mulai memasuki daerah hutan yang ditumbuhi dengan tumbuhan yang mirip seperti yang kita dapati di gunung Gede-Pangrango, yaitu hutan montana. Jalan setapak penuh dengan akar-akar yang melintang, kemiringan lereng sendiri cukup curam untuk memeras keringat. Tidak ada tanda-tanda khusus, keadaan hutan ini hampir homogen dan sangat hening.
Jika perjalanan normal, empat atau lima jam kemudian, kita akan memasuki daerah dengan vegetasi tumbuhan berpohon rendah dan semakin rendah, beberapa daerah agak terbuka, pandangan pun menjadi luas. Jika sobat lelah atau ingin bermalam diperjalanan, bisa singgah di talang atau dusun yang banyak terdapat selama perjalanan. Talang atau dusun biasanya tempat penduduk untuk tempat bermalam pemanen kopi. Gunung Dempo memiliki dua puncak yang satunya bernama Puncak Api. Menjelang puncak pertama Dempo yang merupakan dataran masif, Puncak pertama ditumbuhi tanaman yang rendah mirip perdu. Dari puncak pertama ini kita turun kembali ke lembah yang diapit oleh puncak pertama dan puncak utama. Dilembah ini terdapat sebuah sumber mata air mengalir di sini. Hanya airnya yang jernih ini sedikit kecut rasanya, mungkin pengaruh rembesan belerang.
Pendakian kepuncak utama tidak terlalu sulit. Lerengnya terdiri dari kerikil dan batu-batu dengan kemitingan lereng sekitar 40°, cukup stabil untuk didaki. Puncak utama gunung Dempo (3158 m), Merupakan kawah gunung berapi yang masih bergejolak dengan diameter sekitar seratus meter persegi. Yang unik adalah kawah ini bisa berubah warnanya sesuai dengan kondisi alam. Dinding kawah cukup terjal dan tidak mungkin bisa dituruni tanpa batuan tali temali. Pemandangan dari puncak cukup mengasyikan. Selain kawah yang memberikan kesan khusus, tampak juga terhamparan provinsi Bengkulu dengan Lautan Hindia dengan hamparan lembah yang sunyi dan hening. Perjalanan turun hanya memakan waktu dua jam. Bila kemalaman sobat bisa menginap di Dusun VI, dengan terlebih dahulu minta izin kepala keamanan di sana.

Arti Setiap Gambar Tato Pada Suku Dayak

Suku Dayak merupakan salah satu suku di Indonesia yang paling terkenal,  motif dan ukiran-ukiran suku dayak merupakan salah satu daya tarik wisatawan asing maupun lokal. Keramahan, kecantikan gadis dayak serta keindahan alam suku dayak memang patut diacungi jempol. Kali ini 1000 Unik akan berbagi pengetahun dengan anda tentang Makna Tato Bagi Masyarakat Dayak. Seperti apa sih motif tato suku dayak dan apa maknanya ? Mau tau tentang Makna Tato Bagi Masyarakat Dayak ? simak artikel berikut ini gan tentang Makna Tato Bagi Masyarakat Dayak :


Panglima Perang (Panglima Damai) Dayak, Edy Barau, mengatakan, motif yang digunakan masyarakat Dayak, khususnya Dayak Iban untuk mengukir pada tubuh berhubungan erat dengan kehidupan alam (hutan).

Dengan demikian, motifnya ada yang berasal dari binatang maupun tumbuhan seperti daun, bunga, dan buah yang semua memiliki arti dan makna bagi masyarakat Dayak.

Menurut Edy, ada tujuh bentuk motif tato yang berhubungan erat dan sering digunakan masyarakat Dayak Iban. Selain motif, tempat atau lokasi untuk diukirkan gambar juga tidak bisa sembarangan.

Ketujuh bentuk motif itu di antaranya, motif rekong, bunga terong, ketam, kelingai, buah andu, bunga ngkabang (tengkawang) dan bunga terung keliling pinggang yang masing-masing memiliki makna.

Ia memaparkan, tato atau ukir rekong biasanya diukirkan di leher. Bagi masyarakat Dayak Iban seseorang yang mendapatkan ukiran rekong adalah orang yang mempunyai kedudukan masyarakatnya, seperti Timanggong/Temanggung dan Panglima atau orang yang di-tua-kan di kampung halamannya sendiri maupun di tempat merantau.

Motif Rekong, lanjut Edy, berbeda-beda bentuknya karena disesuaikan dengan jabatan dan kedudukan. Selain itu, antara sub suku Dayak yang satu dengan yang lainnya juga memiliki bentuk motif yang berbeda tapi memiliki makna yang sama.

Motif rekong dapat berupa sayap kupu-kupu, kalajengking merayap dan kepiting. Intinya cenderung berbebtuk motif binatang.

Masyarakat Dayak yang biasanya tato rekong di leher adalah Dayak Kayan, Dayak Taman, dan Dayak Iban. Sementara masyarakat Dayak biasa yang tato rekong di leher akan dikenakan sanksi atau hukuman adat, namun untuk sekarang ini tidak lagi karena ada sebagian memandangnya sebagai seni, ucapnya.

Motif lainnya adalah Bunga terong merupakan bunga kebanggaan masyarakat Dayak Iban. "Bunga terong sudah naik, orang itu sudah profesional, kalimat itu sering diucapkan masyarakat Iban. Karena terong itu kebanggaan masyarakat Iban. Terong juga memberi makna pangkat/kedudukan sebab umumnya letak pertama ada di bahu," tuturnya kepada Tribun.

Bentuk motif dan jenis bunga terong ada berbagai macam dan letaknya juga berbeda. Ada yang tato terong dan meletakannya di lengan, tangan, kaki, dan perut, serta ada juga mengukir seluruh tubuhnya dengan bunga terong.

Bunga terong ada yang bersayap enam, dan ada yang delapan. " Seorang masyarakat Dayak Iban yang memiliki bunga terong keliling pinggang biasanya delapan buah berarti orang itu sudah plor atau penuh atau sudah puas merantau," ujarnya.

Sementara motif kelingai melambangkan binatang yang ada di lubang tanah memberikan arti hidup kita tidak terlepas dengan alam atau bumi. Motif kelingai biasanya diletakan di paha atau betis.

Demikian motif ketam juga memberikan arti hidup selalu menyentuh dengan alam. Meski begitu, ketam biasanya diletakan pada tubuh bagian punggung atau tepatnya dibelakang punggung.

Sedangkan motif buah andu dan bunga ngkabang atau bunga tengkawang melambangkan sumber kehidupan. Buah tengkawang merupakan bunga yang paling banyak di kampung masyarakat Iban dan ditatokan di atas perut.

Motif buah andu pada umumnya diukirkan di belakang paha, yang memberi arti, ketika merantau kita selalu berjalan jauh dan buah andu sebagai makanan untuk menyambung hidup, pungkasnya.